Defisit Anggaran Ditutup dengan Silpa

Defisit Anggaran Ditutup dengan Silpa

Penghitungan APBD 2017 Kabupaten Purbalingga mengalami defisit hingga Rp 55,7 miliar. Namun demikian, defisit itu bisa ditutup dengan Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (Silpa) tahun sebelumnya yang mencapai Rp 114 miliar.
Menurut pakar hukum tata negara Unsoed Purwokerto, Prof Muhammad Fauzan, Senin (25/6), dalam perencanaan pembangunan, Kabupaten Purbalingga sudah matang. Adapun sampai defisit karena adanya sumber pembiayaan yang sifatnya prediktif semisal pendapatan asli daerah (PAD) dan sumber pendapatan lain yang sah.
“Saya rasa, hampir semua pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten mengalami defisit. Penghitungan anggaran kan dikaitkan dengan rencana kegiatan dan anggaran serta penerimaan dana itu dari mana. Rencana kegiatan yang bermacam dengan anggaran, pembiayaan atas kegiatan itu dari sumber mana. Karena adanya sumber dana yang sifatnya prediktif itu, bisa sampai defisit,” terangnya.
Lebih lanjut, ketika perencanaan kegiatan sudah dibuat, rencana anggaran sudah ditentukan dengan rencana pembiayaan yang sudah sedemikian rupa, tinggal sumber yang mana, jadi dihitung bisa surplus atau defisit. Defisit itu bisa ditutup dengan Silpa yang berasal dari penghematan, penekanan harga pagu anggaran atau proyek yang tak terlelangnya.
Adapun penggunaan Silpa sesuai dengan Permendagri 13 Tahun 2006. Pasal 137 menyatakan, Silpa tahun sebelumnya merupakan penerimaan pembiayaan yang digunakan untuk menutupi defisit anggaran apabila realisasi pendapatan lebih kecil daripada realisasi belanja, mendanai pelaksanaan kegiatan lanjutan atas beban belanja langsung dan mendanai kewajiban lainnya yang sampai dengan akhir tahun anggaran belum diselesaikan.
Sementara itu, saat rapat paripurna pandangan fraksi terhadap pertanggungjawaban APBD 2017 kemarin, Fraksi PDI Perjuangan melalui juru bicaranya, WWuriyati mempertanyakan tidak tercapai target realisasi pendapatan daerah. Dari ditetapkan Rp 1,962 triliun namun realisasi pendapatan Rp 1,957 triliun. Demikian pula mengenai belanja daerah yang kurang terserap maksimal, dari pagu anggaran Rp 2,132 triliun, hanya terealisasi Rp 2,013 triliun.
Ketua Fraksi Golkar, Ahmad Sa’bani justru mengkritisi pencapaian pendapatan pajak yang menurun. Diantaranya pajak losmen turun 22,57 persen, pajak rumah makan turun 17,70 persen dan pajak warung turun 31,47 persen. Padahal Kabupaten Purbalingga pada saat ini merupakan tujuan objek wisata dan usaha kuliner semakin marak. Dia juga mengkritisi penggunaan belanja anggaran yang dinilai belum proporsiaonal antara pembangunan fisik dengan pengentasan kemiskinan. Sejumlah program dan kegiatan pembangunan fisik, yang tidak prorakyat miskin yang belum dilyelamng dan belum terealisasi untuk dikaji ulang.
Juru bicara Fraksi Gerindra, Wahyono memandang, realisasi belanja daerah masih belum berorientasi pada outcome sehingga capaian dan tingkat serapan anggaran masih sebatas pada capaian output. Padahal kalau melihat visi misi pemkab Purbalingga seharusnya realisasi belanja berbanding lurus dengan tingkat kemajuan dan upaya capaian kemiskinan.
Fraksi Kebangkitan Bangsa menyoroti tentang masih lemahnya Pemkab Purbalingga untuk mendulang Pendapatan Asli Daerah (PAD). Jika melihat target dan angka capaian PAD Purbalingga dinilai sudah baik, namun di balik itu ternyata biaya yang dikeluarkan untuk mencapai target tersebut masih sangat tinggi dan tidak sebanding.
“Oleh karena itu pula perlu dihitung pula rasio efisiensi PAD. Rasio ini dihitung dengan cara membandingkan biaya yang dikeluarkan Pemkab Purbalingga untuk memperoleh PAD dengan realisasi penerimaan PAD,” kata juru bicara fraksi Edy Zasmanto.
Seperti yang diberitakan kemarin, Plt Bupati Purbalingga Dyah Hayuning Pratiwi dalam Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Purbalingga pada acara penyerahan Laporan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah 2017 di ruang paripurna DPRD Kabupaten Purbalingga, Sabtu (23/6) menyebutkan, pada akhir 2017 lalu Purbalingga sempat mengalami defisit anggaran Rp 55,7 miliar, karena belanja daerah lebih besar dari pada pendapatan.
Meski demikian penerimaan pembiayaan lebih besar dari pengeluaraan pembiayaan dengan selisih Rp 170,2 miliar. Sehingga defisit anggaran tertutup oleh surplus penerimaan pembiayaan menghasilkan Silpa Rp 114 miliar. (H82)

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *